Sabtu, 29 Agustus 2015

SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN ACEH




                        INILAH FOTO SULTAN ACEHYANG PERNAH MEMBAWA KERAJAAN ACEH KEPUNCAK  KEJAYAANNYA                                      
Kerajaan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughaya t Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:
Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar.
Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat.
Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kerajaan Islam Jaya
Kerajaan Islam Jaya sebelumnya merupakan Kerajaan Indra Jaya, sebuah kerajaan yang berpusat di Bandar Paton Bie (Sendu). Proses perubahan menjadi sebuah kerajaan Islam diawali dengan mengungsinya rakyat beserta raja Kerajaan Indra Jaya untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri Cina dengan panglimanya Liang Khi yang menyerang negeri mereka. Liang Khi kemudian menjadi raja sampai beberapa keturunan di Kerajaan Indra Jaya.
Raja Indra Jaya beserta rombongan pengikutnya yang mengungsi akhirnya menemukan suatu tanah datar yang subur disebelah gunung Geurutee dan kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut dinamai Indra Jaya, yaitu nama lanjutan dari Kerajaannya. Beberapa masa kemudian, Kerajaan Indra Jaya didatangi oleh serombongan Mubaligh dibawah pimpinan Meurah Pupok Teungku Sagop. Mereka kemudian mengembangkan ajaran Islam dan berhasil mengislamkan raja dari Kerajaan Indra Jaya tersebut.
Setelah Raja Indra Jaya mangkat maka Meurah Pupok diangkat menjadi Raja Negeri tersebut, dengan kerajaannya yang bernama Kerjaan Islam Jaya. Diantara raja-raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhhom Onga (Almahrum Onga).
Setelah Raja Onga mangkat, Kerajaan Islam Jaya mengalami kemunduran dan kekacauan, dan akhirnya direbut oleh Raja Inayat Syah dan Puteranya Riayal Syah dari Kerajaan Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja dari Kerajaan Islam Jaya dengan gelar Sulthan Salathin Riayat Syah sedangkan ayahnya Sulthan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Darussalam 885–895 H (1480–1490 M). Pada waktu Kerajaan Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah 902–916 H (1497–1511 M) terjadi konflik (sengketa) dengan Kerajaan Islam Jaya, bahwa Kerajaan Islam Jaya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sulthan Syamsu Syah yang bernama Raja muda Ali Mukhayat Syah mengawini Puteri Raja Jaya yang bernama Puetri Hur. Tanggal 7 Rajab 913 H (12 November 1508) Sulthan Salathin Syah mangkat. Ia dikenang dengan nama Meuhom Jaya.
Kerajaan Islam Pidier
Memasuki abad ke 8 H, kerajaan Hindu/Budha di Syahir Poli (Pidier) dilebur menjadi kerjaan Islam Pidier, setelah kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyursyah I, berhasil mengalahkan Syahir Poli dalam sebuah peperangan yang dasyat.
Menurut catatan sejarah di zaman pemerintahan Sultan Mamud II Alaiddin Johan Syah, kerajaan Darussalam, Islam menyebar dan berkembang luas dalam wilayah Syahir Poli, semua ajaran-ajaran Hindu/Budha dapat terkikis habis. Untuk memimpin kerajaan baru tersebut, Sulthan Mahmud II mengangkat puteranya menjadi Raja muda yaitu Raja Husen Syah dengan gelar Maha Raja Pidie Laksamana Raja.
Adapun yang memerintah di kerajaan islam pidier secara turun menurun adalah sebagai berikut:
1. Maharaja Sulaiman Nur (putera Sultan Husen Syah)
2. Maharaja Syamsu Syah
3. Maharaja Malek Ma'aruf Syah (putra Raja Sulaiman Nur dengan gelar syahir dauli, mangkat pada tahun 916K (1511M)
4. Maharaja Ahmad Syah (syahir dauli) mangkat pada tahun 926H (1520M)
5. Maharaja Husen Syah, putera Maharaja Ma'aruf Syah)
6. Maharaja Sayidil Mukammil, putera Raja Firmansyah menjadi sultan Aceh pada tahun 997-1011 H belau adalah kakek Sultan Iskandar Muda (ayah dari ibunya)
7. Maharaja Husen Syah putera Raja Sayyidil Mukammil
8. Maharaja orang kaya, Meurah Poli Negeri Keumangan
9. Maharaja keumangan porah (Po Meurah) Syahir Poli
10. Pang Ulee Peunoro, Meurah Po Itam/bentara keumangan
11. Pang Ulee Peunaro, Meurah Po Puan/bentara keumangan
12. Pang Ulee Peunaro, Meurah Po Tahir/bentara keumangan
13. Pang Ulee Peunaro, Meurah Po Seumar
14. Pang Ulee Peunaro, Meurah Po Lateh
15. Teuku Keumangan Yusuf (setelah prang Aceh - Belanda pada tahun 1877)
16. Teuku Keumangan Umar, Ulee balang IX- Mukim Keumangan Pidie
Kerajaan Lingga
Kerajaan Lingga atau dalam bahasa gayo linge (Suara) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri disana dan dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat, dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi putra bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
1. Raja Lingga I di Gayo
Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah.
Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yaitu:
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Kerajaan Perlak
Sejarah
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal.Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini.Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu.Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan mengenai keberadaan Kerajaan Perlak paling tidak ada tiga yakni :
Idharatul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi, karangan buku Abu Ishak Makarani Al Fasy.
Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan As Salathin, karangan Syekh Syamsul Bahri Abdullah As Asyi.
Silsilah Raja-raja perlak dan Pasai, catatan Saiyid Abdullah Ibn Saiyid Habib Saifuddin.
Ketika naskah tua tersebut mencatat bahwa kerajaan islam pertama Nusantara adalah Kerajaan Islam Perlak. Hanya di sana-sini terdapat perbedaan tahun dan tempat, karena mungkin terjadi karena kekurangan telitian para penyalinnya.
Mata Uang Perlak Mata uang dari emas (dirham) Pada sebuah sisi uang tersebut tertulis ”al A’la” sedang pada sisi yang lain tertulis ”Sulthan”. Dimungkinkan yang dimaksud dalam tulisan dari kedua sisi mata uang itu adalah Putri Nurul A’la yang menjadi Perdana Menteri pada masa Sulthan Makhdum Alaidin Ahmad Syah Jauhan Berdaulat yang memerintah Perlak tahun 501-527 H (1108 – 1134 M).
Mata uang perak (kupang). Pada satu sisi mata uang Perak ini tertulis ”Dhuribat Mursyidam”, dan pada sisi yang tertuliskan ”Syah Alam Barinsyah”. Kemungkinan yang dimaksud dalam tulisankedua sisi mata uang itu adalah Puteri Mahkota Sultan Makhdum Alaidin Abdul Jalil Syah Jouhan Berdaulat, yang memerintah tahun 592 – 622 H (199 – 1225 M). Puteri mahkota ini memerintah Perlak karena ayahnya sakit. Ia memerintah dibantu adiknya yang bernama Abdul AzizSyah.Mata uang tembaga (kuningan)Bertuliskan huruf Arab tetapi belum dapat dibaca. Adanya mata uang yang ditemukan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Perlak merupakan sebuah kerajaan yang telah maju.
Stempel Kerajaan Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf Arab, model tulisan tenggelam yang membentuk kalimat ”Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”. Kerajaan Negeri Bendahara adalah menjadi bagian dari Kerajaan Perlak.3. Makan Raja Benoa Bukti lain yang memperkuat keberadaan Kerajaan Perlak adalah makam dari salah raja Benoa di tepi Sungai Trenggulon. Batu nisan makan tersebut bertuliskan huruf Arab. Berdasarkan penelitian Dr. Hassan Ambari, nisan makam tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 H atau abad ke-11 M. Berdasarkan catatan Idharul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi, benoa adalah negara bagian dari Kerajaan Perlak.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da'i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi'ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi'ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi'ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi'ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi'ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Penobatan Sultan yang keempat tertunda selama tiga tahun karena terjadipertentangan politik antara aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para saudagar yangdipimpin Nahkoda Khalifah terdiri atas pemimpin-pemimpin kaum Syiah yang tersingkiroleh penguasa dari dinasti Abbasiyah di Tanah Arab, Persia dan India.
Pertentangan politik antara kedua mazhab ini dalam kerajaan Islam saat itu sampai meluas ke Perlak. Akhirnya kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam Syiah dan menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Perlak. Dinasti Makhdum merupakan pelanjut dari sultan-sultan dinasti Saiyid Maulana yang berjumlah dua belas orang, yaitu:Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, (306-310 H / 918-922M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H /922-946 M), Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat (334-361 H(946-973 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (402-450 H /1012-1059 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (450-470H /1059-1078 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-501 H (1078-1108 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat(501-527 H /1108-1134 M), Sultan Makhdum Alaiddin Mahmud Syah Johan Berdaulat,(527-552 H /1134-1158 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah JohanBerdaulat, (552-565 H /1158-1170 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad SyahJohan Berdaulat (565-592 H /1170-1196 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik AbduljalilSyah Johan Berdaulat (592-622 H /1196-1225 M) dan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah, kaum Syiah kembali melakukan perlawanan terhadap sultan dan terjadilah perang saudara selam empat tahun. Akhirnya perang saudara ini dapat diakhiri dengan kesepakatan damai, yaitu kerajaan Islam Perlak dibagi dua. Perlak pesisir untuk golongan Syiah dengan ibukota Bandar Periak. Perlak pedalaman untuk golongan Ahlussunnah dengan ibukota Bandar Khalifah. Pembagian wilayah kekuasaan ini mengakhiri perang saudara yang terjadi diantara dua idiologi politik yang saling mempengaruhi peta politik dunia Islam.Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II tidak mempunyai puteramahkota, namun dibalik itu terjadi peristiwa penting dari sisi politis yaitudilangsungkannya perkawinan dua orang puterinya dengan dua orang raja. Puteri Ratna Kemala dikawinkan dengan Parameswara, salah seorang Raja Malaka, yang menggantikan namanya dengan Iskandarsyah setelah memeluk Islam. Dengan bantuan iparnya Malik Abdulazis Syah (putera mahkota Malik Muhammad Amin Syah II), sultan berjihad mengembangkan Ajaran Islam ke seluruh daratan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara puteri Ganggang Sari dinikahkan dengan Sultan Malikussalih yang memerintah kerajaan Islam Samudera Pasai dari tahun 659-688 H (1261-1289 M).
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
Silsilah
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Struktur Pemerintahan
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Kerajaan Jeumpa
Menurut penelitian para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Letak geografis daerah Aceh sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan persinggahan yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik pelayaran berikutnya dari Cina menuju Persia ataupun Arab dengan menempuh samudra luas. Salah satu kota perdagangan pada jalur tersebut adalah Jeumpa dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar).
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan Shahrianshah Salman al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah Raja-Raja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja. Setelah menjadi Raja, wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di Persia yang bernama "Champia", yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan persinggahan bagi pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan lainnya.
Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur sekaligus menjadi pusat penyebaran ajaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara. Shahrianshah Sal-man al-Farisi memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 156 H atau sekitar tahun 770 M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara.
Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, didukung oleh seorang Ratu yang sangat berperan. Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala adalah istri dari pangeran Salman, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang kelak melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Bersama suaminya, Ratu Jeumpa menjalankan kerajaannya sehingga menjadi sebuah kerajaan yang terkenal di dunia internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagang-pedagang dari Arab, Parsia, Cina, India dan lainnya. Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat pulau Sumatra.
Di daerah yang sebagai tapak mahligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam.
Ratu Manyang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik yang baik bagi anak-anaknya yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah ajaran Islam. Ratu dikaruniai beberapa putra putri yang dikemudian hari menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam di Nusantara.
Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan mengembangkan Kerajaan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi Meurah dan pendiri dari Kerajaan Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang diangkat pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa yang diwariskan kepada keturunannya menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun.
Daftar Nama-nama Gubernur Aceh dari tahun ke tahun
Berikut ini adalah Daftar Nama Gubernur Aceh dari tahun ke tahun :
1. Teuku Nyak Arief (1945-1946)
2. Teuku Daud Syah (1947-1948)
3. Tgk. Daud Beureueh (1948-1951)
4. Danu Broto (1951-1952)
5. Teuku Sulaiman Daud (1952-1953)
6. Abdul Wahab (1953-1955)
7. Abdul Razak (1955-1956)
8. Ali Hasjmy (1957-1964)
9. Nyak Adam Kamil (1964-1966)
10. H. Hasbi Wahidi (1966-1967)
11. A. Muzakkir Walad (1967-1978)
12. Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981)
13. Eddy Sabhara (Pjs) (1981)
14. H. Hadi Thayeb (1981-1986)
15. Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1986-1993)
16. Prof. Dr. Syamsudin Mahmud (1993-21 Juni 2000)
17. Ramli Ridwan (Pj. 21 Juni 2000-November 2000)
18. Abdullah Puteh November (2000-19 Juli 2004)
19. Azwar Abubakar (Pj. 19 Juli 2004-30 Desember 2005)
20. Mustafa Abubakar (Pj. 30 Desember 2005-Februari 2007)
21. Irwandi Yusuf (8 Februari 2007-7 Februari 2011)
Delapan Wasiat Iskandar Muda
Aceh pernah dijuluki "Serambi Mekkah", karena masyarakatnya religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).
Denys Lombat, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.
Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat Meukuta Alam boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).
Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.Smith, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in Modern History (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.
Wasiat Iskandar Muda
Menurut catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;
Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.
Kedua, janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.
Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.
Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.
Kelima, Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.
Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.
Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.
Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.
Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.
Jabatan-Jabatan masa Iskandar Muda
Jabatan-Jabatan di kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda:
1. Karekun Katibul Muluk atau Sekretaris Raja.
2. Rais Warizat Addaulah atau Perdana Menteri.
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara.
4. Wazirat Al-ahkam atau Menteri agung.
5. Wazirat Al-Harbiyyah atau Menteri Agung.
6. Wazirat Al-Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman.
7. Wazirat Al-Daramah atau Menteri Keuangan.
8. Wazirat Al-Mizan atau Menteri Keadilan.
9. Wazirat Al-Ma’arif atau Menteri Penndidikan.
10. Wazirat Al-Kharijiyyah atau Menteri Luar Negeri.
11. Wazirat Al-Dakhiliyyah atau Menteri Dalam Negeri.
12. Wazirat Al-Auqaf atau Menteri Urusan Waqaf.
13. Wazirat Al-Ziraah atau Menteri Pertanian.
14. Wazirat Al-Maliyya atau Menteri keuangan.
15. Wazirat Al-Muwaskalat atau Menteri Perhubungan.
16. Wazirat Al-Asyiqal atau Menteri Buruh.
17. Syeikh Al-Islam Mufti atau empat Syeikh Kaabah.
18. Qadhi Malikul atau Qadhi Raja yang adil.
19. Wazir Wahakkum Muharzijlailan atau Ketua Pengurus Badan Kesenian.
20. Qadhi Mualdham atau Jaksa Agung.
21. Imam Badar Darul Makmur Darussalam.
22. Keuchik Muluk (Keuchiik Raja) atau Ketua Kampung.
23. Imam Muluk atau Imam Raja.
24. Panglima Khanduri Muluk atau Ketua Penyelenggara Khanduri Raja.

Riwayat hidup Meurah pupok

Hasil gambar untuk foto meurah pupok
 foto makam meurah pupok

Meurah adalah julukan raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Setelahnya, gelar Meurah berganti dengan Sultan. Meurah Pupok memiliki nama panggilan sayang, yaitu Poteu Tjoet (Pocut). Poteu artinya “raja”, sedangkan Tjoet artinya “kecil”. Meurah Pupok adalah putra kesayangan Sultan Iskandar Muda.

Kematian Meurah Pupok adalah salah satu malapetaka terbesar dalam Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika para pembantunya menanyakan kepada Sulan Iskandar Muda, mengapa hingga sampai hati melaksanakan hukuman pancung pada anak laki-lakinya yang telah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan beliau sebagai Sultan Aceh nantinya, maka Sultan menjawab, 

“Matee aneuk meupat jirat, tapi matee hukom pat tamita”. 

(tewas anak dapat ditandai makamnya tapi bila hilang hukum akan dicari kemana).

Meurah Pupok, putranya tersebut merupakan satu-satunya penerus Kesultanan Aceh. Berdasarkan literatur Bustanussalatin dan keterangan dari pamplet yang tertera di makam Meurah Pupok di Komplek Peutjut (Kherkoff).

Malapetaka itu berawal ketika seorang tentara asal Pedir melaporkan bahwa Meurah Pupok telah berzina dengan istrinya. Ia mengaku telah membunuh perempuan tersebut. Ia meminta keadilan Sultan Iskandar Muda supaya membunuh Meurah Pupok demi keadilan. Sultan Iskandar Muda ingin menyampaikan itu kepada Qadhi Malikul Adil sebagai ketua mahkamah kesultanan. Namun Putri Kamaliah atau Putroe Phang bersikeras bahwa sultan bisa melakukan hukuman itu sendiri.

Sebelum eksekusi pancung dilaksanakan, keputusan ini telah dicegah oleh banyak pihak dalam istana Darud Dunia termasuk Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman Kerajaan Aceh) dengan membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan. Tetapi Putri Kamaliah tetap bersikeras bahwa Meurah Pupok harus dipancung. Sultan Iskandar Muda tidak percaya tuduhan terhadap putranya yang ta’at tersebut, namun karena desakan Putri Kamaliah dan orang di sekelilingnya, maka tanpa pengadilan Meurah Pupok pun dipancung di hadapan ribuan masyarakat banyak. 

Setelah Meurah Pupok dibunuh, sehari setelahnya Sultan mengangkat Iskandar Tsani sebagai putra mahkota penggantinya. Tak lama setelah itu, Sultan Iskandar Muda wafat karena sakit yang menurut dugaan orang terpercayanya, ia diracun. Satu pihak lagi mengatakan bahwa penyesalan karena membunuh anaknya sendiri tanpa kesalahan membuat ia kehilangan semmangat hidup. Maka lemahlah pemerintahan kesultanan saat itu.

Karena Iskandar Tsani telah diangkat sebagai putra mahkota, maka ia diangkat sebagai sultan Aceh pengganti Iskandar Muda. Namun, Putri Safiatuddin mencium ketidak beresan itu. Bagaimana sebuah peristiwa bisa begitu aneh, orang-orang yang dicintainya meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Karena tidak percaya abang kesayangannya berzina, maka ia dan pengawal terpercayanya mencari kebenaran. Ia menemukan bahwa itu adalah fitnah yang telah dirancang. Lelaki yang melaporkan istrinya berzina tersebut, tewas beberapa hari setelahnya.

Setelah Safiatuddin berhasil menguak kebenaran, ia menyampaikannya kepada Tuha Peuet Kesultanan dan seluruh menteri, maka suaminya yang merupakan anak Putri Pahang, Iskandar Tsani, dimakzulkan. Safiatuddin menemukan bahwa Putri Pahang di balik konspirasi itu kerjasama dengan Nuruddin. Karena peristiwa itulah makam Putri Pahang tidak diketahui sampai sekarang, dan Nuruddin melarikan diri ke negeri asalnya, Ranir, India setelah kalah debat dengan seorang murid Hamzah Fansuri. Lalu, Safiatuddin memasang batu nisan selayaknya keluarga kesultanan di makam Meurah Pupok.Meurah adalah julukan raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Setelahnya, gelar Meurah berganti dengan Sultan. Meurah Pupok memiliki nama panggilan sayang, yaitu Poteu Tjoet (Pocut). Poteu artinya “raja”, sedangkan Tjoet artinya “kecil”. Meurah Pupok adalah putra kesayangan Sultan Iskandar Muda.

Kematian Meurah Pupok adalah salah satu malapetaka terbesar dalam Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika para pembantunya menanyakan kepada Sulan Iskandar Muda, mengapa hingga sampai hati melaksanakan hukuman pancung pada anak laki-lakinya yang telah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan beliau sebagai Sultan Aceh nantinya, maka Sultan menjawab, 

“Matee aneuk meupat jirat, tapi matee hukom pat tamita”. 

(tewas anak dapat ditandai makamnya tapi bila hilang hukum akan dicari kemana).

Meurah Pupok, putranya tersebut merupakan satu-satunya penerus Kesultanan Aceh. Berdasarkan literatur Bustanussalatin dan keterangan dari pamplet yang tertera di makam Meurah Pupok di Komplek Peutjut (Kherkoff).

Malapetaka itu berawal ketika seorang tentara asal Pedir melaporkan bahwa Meurah Pupok telah berzina dengan istrinya. Ia mengaku telah membunuh perempuan tersebut. Ia meminta keadilan Sultan Iskandar Muda supaya membunuh Meurah Pupok demi keadilan. Sultan Iskandar Muda ingin menyampaikan itu kepada Qadhi Malikul Adil sebagai ketua mahkamah kesultanan. Namun Putri Kamaliah atau Putroe Phang bersikeras bahwa sultan bisa melakukan hukuman itu sendiri.

Sebelum eksekusi pancung dilaksanakan, keputusan ini telah dicegah oleh banyak pihak dalam istana Darud Dunia termasuk Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman Kerajaan Aceh) dengan membujuk agar hukuman itu tidak dilaksanakan. Tetapi Putri Kamaliah tetap bersikeras bahwa Meurah Pupok harus dipancung. Sultan Iskandar Muda tidak percaya tuduhan terhadap putranya yang ta’at tersebut, namun karena desakan Putri Kamaliah dan orang di sekelilingnya, maka tanpa pengadilan Meurah Pupok pun dipancung di hadapan ribuan masyarakat banyak. 

Setelah Meurah Pupok dibunuh, sehari setelahnya Sultan mengangkat Iskandar Tsani sebagai putra mahkota penggantinya. Tak lama setelah itu, Sultan Iskandar Muda wafat karena sakit yang menurut dugaan orang terpercayanya, ia diracun. Satu pihak lagi mengatakan bahwa penyesalan karena membunuh anaknya sendiri tanpa kesalahan membuat ia kehilangan semmangat hidup. Maka lemahlah pemerintahan kesultanan saat itu.

Karena Iskandar Tsani telah diangkat sebagai putra mahkota, maka ia diangkat sebagai sultan Aceh pengganti Iskandar Muda. Namun, Putri Safiatuddin mencium ketidak beresan itu. Bagaimana sebuah peristiwa bisa begitu aneh, orang-orang yang dicintainya meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Karena tidak percaya abang kesayangannya berzina, maka ia dan pengawal terpercayanya mencari kebenaran. Ia menemukan bahwa itu adalah fitnah yang telah dirancang. Lelaki yang melaporkan istrinya berzina tersebut, tewas beberapa hari setelahnya.

Setelah Safiatuddin berhasil menguak kebenaran, ia menyampaikannya kepada Tuha Peuet Kesultanan dan seluruh menteri, maka suaminya yang merupakan anak Putri Pahang, Iskandar Tsani, dimakzulkan. Safiatuddin menemukan bahwa Putri Pahang di balik konspirasi itu kerjasama dengan Nuruddin. Karena peristiwa itulah makam Putri Pahang tidak diketahui sampai sekarang, dan Nuruddin melarikan diri ke negeri asalnya, Ranir, India setelah kalah debat dengan seorang murid Hamzah Fansuri. Lalu, Safiatuddin memasang batu nisan selayaknya keluarga kesultanan di makam Meurah Pupok.